Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Jumat, 18 Februari 2011

Hari Terakhir Bersama Fhatimah


Pagi ini sudah 2 gelas pecah oleh Fhatimah gadis lugu yang hobby baca itu. Fhatimah kaget bukan main karena ia takut kalau sampai ibunya tahu dan terus marah padanya. “ko pecah lagi si.” Umpatnya sambil membereskan pecahan gelas di lantai dan tak di nyana ibu sudah berdiri di ambang pintu.
            “sudah 2 gelas yang kamu pecahkan Fhatimah. Ada apa sebenarnya denganmu?”tanya ibu tanpa sediktpun marah kepada Fhatimah.
            Dalam hati Fhatimah tersenyum senang karena perkiraanya tidak terjadi. “maaf bu, tangan Imah licin.” Belanya. ‘awww”jerit Fhatimah memekik kesakitan pecahan gelas itu mengfgores tanganya.
            Ibu kaget bukan main. “aduh Imah kamu tidak apa-apa nak?” ibu khawatir di melihatnya.
            Fhatimah tidak menjawab ia merasa kesakitan darahpun mulai mengucur mencemari tanganya yang sedikit kasar. Maklum lah Fhatimah adalah seorang gadis desa yang banting tulang bekerja keras demi membahagiakan ibunya yang sudah tua itu, ya karena ia tak memiliki ayah dan sanak saudara lainya jadi tak ada orang lain yang bisa menanggung beban hidupnya selama tiga tahun itu selepas kepergian ayah tercintanya yang telah meninggal akibat penyakit TBC. Setiap harinya Fhatimah mencuci pakaian tetangga dengan upah yang sangat minim yang hanya cukup untuk makan saja. Ia sebenarnya bukan tak ingin bekerja di pabrik atau toko yang gajinya lebih lumayan namun kondisi ijazah yang tidak mendukung karena ia hanyalah lulusan SD. Bukan tak mau juga ia pergi ke luar negeri untuk menjadi TKW tapi melihat kondisi ibunya yang semakin tua dan sering sakit-sakitan membuat ia lebih memilih bekerja di dekat rumah dengan gaji yang minim dari pada jauh-jauh tapi harus meninggalkan sosok ibu.
            Tok tok tok. Terdengar suara ketokan pintu dari luar. Ibu langsung beranjak meninggalkan Fhatimah yang sedang membersihkan darahnya. Tak lama kemudian ibu muncul kembali bersama sosok pemuda yang penampilnya sangatlah rapih. Fhatimah melongo sebentar ketika melihat pemuda itu tapi cepat kembali ia fokus sam lukanya.
            “sini sini biar ta bersihin.” Bantu pemuda itu menarik tangan Fhatimah.
            Tapi dengan cepat kilat Fhatimah menarik tanganya kembali. “eiiiiiiiitsss enak aja main tarik.” Ucapnya sewot. Dan pemuda itu langsung diam. “udah pulang kerja?” lanjutnya bertanya.
            “ya.” Pemuda itu menjawab dengan singkat pula, abisnya ia merasa bt akibat perlakuanya Fhatimah barusan orang mau nolong baik-baik malah di bls dengan sewot.
            “lagi bt ya? Ko singkat gitu?gak nanyain kenapa-kenapanya.” Ujar Fhatimah sambil membalut lukanya dengan sebuah kain yang baru saja di sobekanya dari kain lap yang kebetulan ada disana.
            Pemuda itu menelan ludahnya tapi justru itulah yang membuat ia makin sayang sama Fhatimah yang jinak jinak merpati. Dan ternyata sesungguhnya ia bernama Rendi tunangannya Fhatimah. Rendi bekerja di sebuah pabrik sepatu sebagai kepala keuangan, maklum ia kan lulusan S1 jurusan ekonomi. “yang algi bt itu sebenarnya siapa?” Rendi balik tanya.
            Fhatimah nyengir rasa sakitnya seperti hilang ketika ada sosok Rendi di hadapanya. “lhaa mas Rendi lah yang bt. Buktinya tuh main singkat-singkatan.”
            “itu semua karena Imah juga yang main sewot, orang mau bantu baik-baik.” Bela Rendi senagja memasang wajah bt.
            Ibu tersenyum melihatnya dan ibu merasa bangga memiliki putri seperti Fhatimah yang teguh mengabdi sepenuhnya kebada Alloh. Ibu sangat tahu mengenani anak gadisnya itu ia bukanlah sembarang gadis yang rela mengorbankan cintanya demi sosok yang belum tentu mencintainya. Ibu juga tahu Fhatimah lebih memilih menderita dari pada harus melanggar aturanya Alloh. Meskipun ia sakit keras tapi ia tak pernah meninggalkan soalt lima waktunya. Dari itu meskipun ibu sedikit bawel tapi sebenarnya ibu sangatlah sayang pada putri semata wayangnya. Enatahlah apa yang terjadi bila ia tak memiliki putri seperti Fhatimah mungkinkah menjadi pengemis adalah jalan yang terbaik, tapi begitu pemurahnya Alloh dengan adanya Fhatimah ia tak perlu melakukan hal itu. Karena ibu merasa malu lalu ia meninggalkan Fhatimah dan rendi yang masih meneruskan guyonanya di dapur tanpa rasa khawatir, ibu tahu Rendi bukan laki-laki bajingan.
            “udah solat ashar?” tanya Fhatimah membawa Rendi ke halaman belakang. Kemudian mereka duduk disebuah beranda.
            “udah donk. Imah udah solat juga dan makan?” jawab rendi balik tanya.
            Imah mengangguk tersenyum. Dan senyum itu membuat rendi selalu rindu ingin cepat meminang Fhatimah.
            “gini sayang kedatangan mas kesini ingin menyampaikan sesuatu.” Ucap Rendi sambil memandang pohon pisang yang terdapat tak jauh darinya.
            “sampaikan aja mas.” Pinta Fhatimah sedikit deg degan karena ia merasa takut kalau sampai kekasihnya itu menyamp[aikan hal yang tidak diinginkannya.
            “mas di tugaskan di kalimantan. Bila Imah siap mas pengen melamar Imah dan membawa Imah ke kalimantan.” Jelas rendi membuat Imah terbengong-bengong.
            “ko tiba-tiba mas?”
            Rendi menundukan kepalanya dan berkata. “ya mas juga gak tahu, tadi atasan mas nagabarinnya juga.”
            Fhatimah menjadi lemas rasanya tak karuan ia sedih bercampur bingung juga. dan pikiranya saat ini terfokus pada sosok ibu yang menjadi tanggunganya. “bukannya Imah menolak mas tapi mas juga kan tahu kalau daalm kehidupan Imah, Imah memiliki ibu yang sudah renta. Imah gak pengen membebankan mas.”
            “pasti itu alasanmu. Dengerin sayang tanggunganmu adalah tanggungan mas juga.”
            “mas bisa bilang gitu tapi kata-kata itu belum tentu terucap dari keluarga mas.”
            “mas adalah laki-laki dan mas berhak menentukan semuanya.”
            Imah terdiam sedih dan bayang-bayang itu mulai kembali menghantuinya ketika ibu Nur mamanya Rendi sengaja datang kerumahnya hanya untuk mencela Imah yang tak punya pendidikan tinggi.
            “sebenarnya Rendi mau di jodohkan dengan Tiara gadis kelahiran Bandung namun entah kenapa pula rendi selalu saja menolak. Padahal Tiara juga gadis yang baik lulusan kuliahan lagi.” Ucap ibu Nur waktu itu. Untung saat itu ibu sedang tidak ada jadi Fhatimah lelusa merahasiahkannya.
            Rendi menarik nafasnya dalam-dalam ia ingin sekali mendengar Fhatimah berkata “ia Imah mau menikah sama mas’ namun kata-kata yang di tunggunya selama 5 bulan ini tak kunjung di dengarnya.
            “Imah tak akan rela bila melihat ibu menangis karena masalah Imah. Tolong mengerti mas.” Pinta Imah mulai mengucurkan air matanya. Dalam hati ia menjerit meminta petunjuk yang maha kuasa.
            “apa kita bisa menikah ketika ibu sudah meninggal?”tanya rendi serius.
            Imah melirikan wajahnya cepat ada sedikit kekecewaan ketika ia harus mendengar kata itu. Imah ingin marah namun di urungkanya karena pertanyaan Rendi ada benarnya juga. “ko mas ngomongnya gitu?”
            “ya habis apa yang harus mas tanyakan. Mas sangat sayang sama Imah, mas terlalu takut bila terus di tunda-tunda mas takut gak bisa menahan kerinduan mas pada Imah. Imah ngerti kan maksud mas?”
            Imah menarik nafas panjang ia sangat mengerti dengan tutur kata Rendi. “Imah bingung mas.” Ucapnya pelan.
            “istikharah ya sayang. Mas kasih waktu tiga hari.”
            Meong meong. si Manis kucing kesayangan Imah menghampiri tanpa di panggil. Imah tersenyum melihat si Manis yang memiliki bulu hitam dan putih. “udah makan belum Manisku?”tanya Imah pada sang kucing.
            Meong meong. Lagi lagi si Manis hanya bisa Mengeong.
            Imah tersenyum lagi ia seperti tak memperhatikan permintaan Rendi. “kalau Imah gak ada dirimu tinggal dengan siapa ya Manis? Belum tentu orang lain menyaayangimu seperti Imah sangat menyayangimu.” Bisiknya sesekali mencium si Manis yang sedang tertidur.
            Dan Rendi hanya menelan ludah karena ia merasa di cuekan. “kalau perlu si Manis bawa juga ke Kalimantan.” Ujarnya mengalihkan pandangan.
            Imah tertawa kecil. “Manis mau ikut ke Kalimantan?”
            Meong meong.
            “gak mau katanya mas”
            Lalu mereka tertawa bersama.
            “ya insyaAlloh mas Imah akan istikharah dulu.” Ucap Imah memandang wajah Rendi.
                                                            ***
            “Fhatimah masakanmu sungguh enak”
            “benarkah ayah?”
            “iya nak. Kou memang pandai.”
            “yang ngajarinya siapa dulu”
            “ah ibu.hehehe”
            Fhatimah sednag bermimpi berkumpul bersama keluarganya yang tak lain adalah ibu dan ayahnya. Ia langsung terbangun dari mimpi itu. “udah jam 2” ucapnya seraya mengucek-ngucek matra yang masih ngantuk. Kemudian ia beranjak dari pembaringan dan pergi ke kamar mandi untuk berwudzu. Setelah selesai salat ia terdiam  menatap gambar mekkah al mukaromah yamg terpampang di sejadah berwarna biru itu. “oh Allohku akankah aku bisa membawa ibu ke rumahMu itu? Huhh maafin aku ibu karena sampai saat ini aku belum bisa membahagiakanmu. Oh iya ini hari terkhir istikharahku, belum ada kepastian yang pasti mengenai apa yang harus aku jawab sama mas Rendi.” Pikir Fhatimah bicara sendiri. “ya Alloh apa maksud mimpiku tadi?” lama sekali ia berdiam termangu memikirkan arti dari mimpinya. Saat melihat buku diary yang tersimpan di atas meja ia pun berniat untuk menulis secarik kata-kata yang ada di hati.
            Uhuk uhuk uhuk. Lamunan fhatimah buyar akibat mendengar suara ibu dari kamar sebelah yang terbatuk-batuk. Kemudian ia beranjak menuju kamar ibu yang di halangi dengan sebuah gorden lusuh berwarna hijau tua. Di bukanya gorden itu dan Fhatimah ingin memastikan sedang apakah ibu?
            Darah itu menodai mukena ibu dan ibu tidak berdaya terus menerus batuk darah. Fhatimah kaget bukan main melihat kondisi ibu kemudian ia merangkul ibu dan kebingungan apa yang harus ia lakukan? Ia begitu takut akan kehilangan ibu tapi ia juga tak kuasa untuk meninggalkannya karena tak ada orang lain lagi disana.
            “ibu. . .” tak kuasa Fhatimah untuik bicara ia masih kebingungan. Lalu ia cepat bergegas mengambil keputusan untuk membawa ibu ke rumah sakit. “semoga aja pak Rt sudi untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit. Ibu tunggu ya, Imah mau ke rumah pak RT.” Dengan cepat Fhatimah lari meninggalkan sosok Ibu yang sedang sekarat untuk pergi ke rumah pak RT. Air mata bercucuran darahpun berlumuran di tangan Fhatimah.
            Suasana di luar sepi karena memang hari masih terlalu malam. Tapi Fhatimah tak merasa takut sedikitpun keinginanya begitu kuat untuk membawa ibu ke rumah sakit padahal ia sama sekali tak memegang uang sedikitpun. Jalananpun sangat sepi hanya satu dua saja mobil yang lewat. Kebetulan rumah pak RT harus menyeberang jalan dulu so bagaimanapun harus hati-hati meskipun sedang sepi, tapi ya tapi nasib malang telah menimpa Fhatimah.
            BRUKKKKKKKKKKKKK. Mobil avanza itu menabrak tubuh Fhatimah yang sedang menyeberang jalan. Dan beberapa menit kemudian suasana jalan menjadi ramai.
                                                            ***
            Suara ring tone maryah carey yang berjudul hurt berdering di handponenya Rendi, sebuah panggilan daris eoarang teman Rendi yang bernama Firman. Kemudian Rendipun mengangkatanya. “asalamualaikum Fir, ada apa pagi-pagi begini telepon saya?”
            “waalaikumsalam, saya turut berduka cita Ren atas kepergian Fhatimah beserta ibunya.” Jawab Firman di seberang sana dengan suara sendu.
            Rendi terdiam sejenak. “kamu lagi ngigau ya Fir?” Rendi tak percaya.
            “kamu belum dapat kabar Ren, kalau Fhatimah kecelakaan semalam? Istriku barusan habis takjiah juga keruamahnya. Apakah tidak ada yang memeberi tahumu?”
                                                            ***
            Air mata yang jarang sekali Rendi keluarkan kini tak bisa lagi ia tahan ketika harus mendengar kepergian Fhatimah utuyk selama-lamanya, ia tak emnduga kalau hari itu adalah hari terakhir pertemuanya dengan Fhatimah. Dan saat ini Rendi sedang terduduk di lantai samping ranjang reot milik Fhatimah, digenggamnya sebuah buku diary berwarna merah jambu pemberianya 3 bulan yang lalu saat Fhatimah ulang tahun. Lembar demi lembar ia buka buku itu ia baca setiap kata-kata yang tertulis di deretan garis-garis berwarana pink itu dengan di temani air mata yang terus mengucur tiada hentinya.
Dear diary
Malam ini Imah bermimpi ketemu sama ayah, kita makan bareng, kita berkumpul. Oh sungguh indahnya tapi sayangnya itu hanya sebuah mimpi. L
Hemmm Imah inget sama mas Rendi, kenapa ya? :D
Dan perlu di ketahui Imah belum dapat jawaban mengenai istikharah, huhhh bingung juga, tapi Imah mau pasrahkan semua ini sama Alloh aja, apa yang natr siang Imah ucapkan smaa mas Rendi itu adalah yang terbaik bagi kita.
Ya Alloh berikanlah yang terbaik untuk kami, untuk ibu, aku, dan mas Rendi. Amin.
Hemmm… apa lagi ya??
            Meong meong meong. Suara kucing si Manis membuyar tangisan Rendi. “manis sekarang kou sendiri ya?” tanya Rendi pada si Manis yang menatapnya. Namun si Manis hanya diam membisu tak mengeluarkan suara manisnya ia seperti terbawa suasana yang sedang duka itu.
Kemudian Rendi mengambil sebuah pena yang tersimpan di atas meja.
Bidadari yang aku kenang

Gadis, betapa berharaganya dirimu
Wajahmu yang sederhana menyemangati duniaku
Suaramu selalu berceloteh manja
Matamu yang indah terhiasi beribu bintang
Betapa aku semakin cinta padamu

Tapi kenapa kou begitu
Berlalu tanpa mempedulikan perasaanku
Aku luka saat ini
Kehilangan bidadari yang selama ini aku cari
Bayangmu tak luput dari benaku
Kou menari-nari dengan senja abadi
Dan kemanakah harus aku cari lagi
Mawar putih yang selalu ku nanti

Kini aku sendiri
Membisu melepas kepergianmu
           
Kemudian Rendi menutup buku diarynya Fhatimah, dan beranjak pergi meninggalkan tempat yang penuh kenangan itu. Beranda di belakang rumah yang selalu tertata rapih mungkin tak akan di laluinya lagi. Dan bayangan Fhatimah masih menari-nari di antara tempat-tempat yang pernah Rendi singgahi bersamanya.
            Tak lupa Rendi melihat kamar ibu. Matanya beralih melihat tumpukan mukena yang berlumur darah, dan ia bisa memperkirakan ibu meninggal akibat suatu penyakit yang di tularkan oleh suaminya ayah Fhatimah. Karena tak ada seorangpun yang tau alur cerita bagaimana Fhatimah bisa tertabrak dan penyebab kepergian ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar